Rabu, 02 Juni 2010

Apa artinya "deer"

Hahahaha...tiba2 nggak sengaja buka file2 jaman dulu...duluuuu banget waktu kuliah semester 1, lagi culun2nya, lagi tomboy2nya, nggak peduli dengan sekitar, hihi...bener2 kangen jadinya ma masa itu...masa dimana mereka mengatakan aku, erika dan Bayu adalah 3 serangkai yang eksklusif..yang tertutup n pilih2 teman. (padahal mereka aja yang nganggap gitu).masa berbahasa inggris ria...masa rajin2nya CEC...(nih ada photonya..photo orang2 yang berchemistry waktu CEC dan akhirnya sama2 mendirikan VoLFO..meskipun dah pada pencar...but i neva forget d moment) ada tulisan, cerita yang kayaknya waktu itu mau dijadiin novel deh..tapi heran juga,kok disini akhirnya tertulis "to be continue". meskipun ternyata nggak rampung..tapi lumayanlah...
******
Baru saja aku melangkahkan kaki, memasuki sebuah gedung bertingkat yang selama ini menjadi tempat belajarku, seorang gadis manis dan cerdas langsung menyambutku dengan meneriakkan namaku. Aku terhenti sejenak, mendongakkan kepalaku yang dari tadi tertunduk,berjalan sambil menatap tanah. Aku langsung tersenyum dan melebarkan langkahku untuk langsung menghampirinya. Semua yang melihatku tersenyum dan menyapaku. Aku hanya membalas senyuman mereka tanpa menyebut namanya. Terang saja, aku sama sekali tak hapal akan nama-nama mereka. Toh mereka yang mengenalku lantaran aku telah mencetak sejarah di fakultas ini, hanya dengan menampar wajah seorang senior yang disegani dengan dua kali tamparan ketika ospek berlangsung. Sungguh mengerikan. Tapi aku rasa mereka juga mengenalku lantaran aku mampu hadir sebagai gadis yang disegani dan terkenal cerdas.

“ Qin, kita duduk di bangku nomor dua ya? Tuh! Lu duduk di samping gua”,Gadis yang aku akui cerdasnya melebihiku ini menarik tanganku, menuntunku ke deretan kursi yang masih kosong.
“ Kok nomor dua sih?! Mangnya bangku depan siapa yang ngisi?”

“ Nggak ada. Sekali-kali aja kita cicipi bangku nomor dua. Soalnya leher gua sakit nih…kan bapak itu hobinya jalan-jalan ke belakang”


Aku mengangguk setuju. Kuletakkan tas kesayanganku, dan kulangkahkan kakiku menuju pintu kelas. Tanpa merasa risih aku langsung menjatuhkan bokongku ke lantai. Duduk dengan tenang sambil menghadap ke lantai dua, berharap sosok yang baru saja aku lepas dari hatiku melewati teras yang berada di atas.


“Eh Nyil! Lu ngapain melamun liat ke atas? Ngarep ya?!”
“ Ngga kok…! Orang cuma liat doang!mangnya ngga boleh apa?!siapa tau khan ngga sengaja ngeliat cowok macho, hehehe...”
“ Oya Qin, lu kemaren kemana? Kok nggak ikutan CEC?”
“ Gua capek Ka, jadi gua langsung pulang. Seru nggak topiknya?”
“ Seru lho...ada bintang tamunya lagi!”
“ Iya ya?! Siapa?”
“ Kakak yang kemaren abis pulang dari Kanada gitu.Gila! orangnya hebat banget”, Kara menggenggam tangannya dan meletakkannya tepat di bawah dagunya. Ekspresi dia ketika mengagumi seseorang. Aku tersenyum lucu melihat gayanya yang persis seperti anak kecil.

“ Cowok?Cakep nggak?!” Kulontarkan pertanyaan basi yang selalu saja keluar dari mulutku ketika seseorang bercerita tentang seseorang. Aku amat yakin, secakep apapun orang itu, tidak akan mampu menandingi betapa manisnya lelaki yang yang baru saja kulepas gelarnya dari gelar seorang Kekasih.
“ Lumayanlah..cakep. orangnya putih. Dia itu yang punya stasiun radio di sini. Itu lho...adeknya si Nico” Aku berdiri dan memajukan bibirku. Aku tertawa mendengar nama terakhir yang diucapkannya. Nico? Hello...
“ Nico yang kemaren ngelatih kita waktu pelatihan radio maksud lo? Nggak salah sbut tuh?! Dari mana putihnya?”
“Hey...jangan salah ya..! gua awalnya sih juga kaget! Tapi ini gua nggak salah sebut kok. Tu manusia putih banget! Orangnya sama sekali ngga mirip ma Abangnya!”
Baru saja aku ingin mengomentari cerita Kara, tapi terhenti dengan derapan langkah seluruh temanku. Seorang dosen telah terlihat mendekat ke arahku. Tanpa berkata-kata, aku membelokkan badanku dan berlari menuju sebuah kursi yang telah dihuni oleh sebuah tas yang benar-benar kusayangi.
***
“Hari ini lu mau kemana?”
“Ngga kemana-mana” Aku menjawab pertanyaan Kara sambil membenahi tasku. Tanpa melihat wajahnya aku terus mendengarkan ocehan cepat dari bibirnya. “Lu hari ini CEC kan?”
“Ya iyalah. Mangnya kenapa?!”
“Kita ke Dekanat bentar yuk! Sambil nunggu jam dua”
“Mmm Boleh. Lu ngga sekalian mampir ke kantin ni?”
“Gua lagi bokek Qin, kecuali lu mau bayarin gua. Hahaha”
Aku melayangkan buku besar yang dari tadi betah di genggamanku lantaran tasku tidak menerima buku itu berada di dalam perutnya yang telah membuncit karena penuh dengan buku tebal lainnya, ke arah badannya.Cewek itu hanya memberikan sebuah cengiran kuda, sadar akan lelucon yang baru saja dikeluarkannya. Langsung saja aku melangkahkan kakiku sejajar dengan langkahnya.
Berbeda denganku, kara sungguh ramah dan bersahabat bila dibandingkan denganku. Selama mengikuti jejak kakinya, ntah berapa senyuman yang sudah keluar dari wajah manisnya. Ntah berapa sapaan yang telah disebarkannya kepada setiap orang yang ditemuinya. Sedangkan aku? Aku hanya melihat apa yang ada di hadapanku. Menatap lurus ke depan. Paling tidak, aku membalas senyuman yang tiba-tiba diciptakan orang kepadaku. Itupun bila aku sadar kalau mereka tersenyum padaku. Tak jarang aku mendapati wajah kecewa karena aku tak membalas senyumnya, atau juga mendapati sebuah bibir yang ragu untuk tersenyum padaku.


Seperti hari-hari biasanya, Kara akan terhenti langkahnya ketika ia bertemu dengan orang-orang. Kadang hal itu membuatku jengkel.
Berkata dalam hati “ Kenapa sih ni anak nyangkut melulu kalo lagi jalan?”

Aku menunggu Kara dari kejauhan. Kulihat dia masih asik berpelukan dengan teman lamanya. Aku tetap menginjakkan kakiku di tanah yang sama, hingga akhirnya Kara menyusulku.
“Sorry Qin, itu tadi teman lama. Teman satu SMA”

“Ngga pa pa. Kita ke dekanat Cuma buat ngliat pengumuman aja khan?”

“Iya sih, tapi kalo ada yang menarik ya...apa boleh buat”
Tiba-tiba saja seorang kakak tingkat melambaikan tangannya ke arah kami.

“ Qindy, kara! Kalian berdua buruan kesini”
Aku dan Kara saling berpandangan dengan ekspresi heran dan jari yang berada tepat didepan hidung masing-masing.Aku mendongakkan kepalaku. Berharap mampu melihat sosok yang berada di bawah pohon jengkol itu denga jelas.
“Lho?? Itu kan Mbak-mbak yang bakalan ikut CEC? Bagus deh berarti kita nggak perlu takut telat.hehehe”

Aku tersenyum kuda ketika mengetahui siapa saja yang berada di sebrang. Tanpa Ba bi bu kami mendekati mereka. 1..2...3...4. yah, ada empat orang di sana. Salah satunya merupakan ketua Hima. Mereka sedang membahas kegiatan yang akan diadakan selang beberapa minggu lagi.
Tak usah heran bila kami berdua tiba-tiba dipanggil untuk membantu mereka menggerakkan teman-teman angkatan kami.
Ya..ya...ya... lagi-lagi tugas yang sama ditawarkan kepadaku dan Kara. Mereka terlalu yakin kami mampu menghipnotis teman-teman angkatan untuk mngikuti skenario mereka.
Aku heran, daya traik apa sih sebenarnya yang kami pancarkan sehingga kami mampu berada dipuncak kepercayaan. Mereka terlalu cepat memberikan cap berkualitas tinggi kepada kami.
Lagi-lagi kami dianggap bagaikan seorang SPG yang mampu menjual produk dengan cepat. Aneh batinku, di sisi lain mereka menganggapku sesosok gadis yang mengerikan, yang bisa terhitung kapan kepalaku menoleh ke kanan atau ke kiri. Ah...apa semua ini karena seorang Kara?


Kuangkat lengan kiriku, kutatap dua jarum hitam yang berada di dalam lingkaran jam yang kuanggap sahabat sejatiku.jam ini telah menemaniku selama 8 tahun lamanya. Sahabatku yang satu ini mengatakan bahwa aku harus segera menarik tangan Kara dan berlari ke GB 2, sebutan keren untuk gedung belajarku. “Kar, kita telat nih! Dah jam setengah tiga”
“Oh iya, tapi...mbak-mbak ini kan masih disini”

“Biarin aja, kita duluan yuk! Ngapain juga kita nunggu urusan mereka” Aku merarik tangannya setelah mengucapkan Bye-bye pada mereka.
“Mbak, kami duluan ya...”
“Iya Dek, ntar kami nyusul deh..”, salah satu dari mereka membalas sapaanku, melambaikan tangan dan tersenyum.
Aku membalas gerakan itu dengan gerakan yang sama.
Kulangkahkan kakiku dengan kecepatan yang maksimal. Tanpa menghiraukan sapaan orang –orang yang menggodaku, aku terus saja mempercepat langkah.
Kara yang kini berada jauh dibelakangku menyapaku, berharap aku menghentikan langkahku. Aku diam sejenak, menoleh kearahnya dan menanti langkahnya agar sejajar denganku. Ketika kakinya telah berada tepat disebelahku, akupun melanjutkan gerakan kakiku, memasuki sebuah ruang yang ternyata telah dipenuhi oleh manusia-manusia. Ada beberapa orang asing yang tak kukenal. Aku menebarkan pandanganku ke segala penjuru kelas, berharap ada sebuah kursi yang belum berpenghuni. Ada memang, bahkan lumayan banyak. Tapi tidak mungkin aku menghampiri kursi tersebut yang letaknya berada diantara orang-orang yang sedang asik berdiskusi . Aku yang mempunyai jiwa ingin selalu berada di depan menangkap kursi yang berada tepat disebelah lelaki bertopi biru yang sama sekali belum pernah kulihat. Aku pikir hanya kursi inilah yang paling dekat denganku saat ini. Lelaki yang berada disampingku menoleh sejenak ke arahku, hanya sejenak. Hitungan 5 detikpun tak sampai. Sementara kara menarik kursi lain dan meletakkannya tepat di sebelah kiriku. Hingga akhirnya aku berada diantara dua orang yang berbeda. Orang yang amat kukenal dan orang yang belum kukenal.
Aku memusatkan otakku di sini, di tempat ini. Mendengarkan cerita tentang obsesi semua orang yang berada di sini. Tentu saja dengan berbahasa inggris. Aku selalu saja mendongakkan kepalaku ke arah mereka yang berada di belakangku. Sakit memang leherku dibuatnya. Kali ini aku melayangkan mataku kearah 45o samping kanan. Oow..aku melihat orang asing! Kali ini lebih asing lagi. Dengan perawakan tinggi, putih, berambut pirang. Bule rupanya.
Aku berbisik ke arah kiri, dimana kara sedang asik menyimak Zhe yang sedang bercerita tenyang obsesinya memajukan budaya daerah ini.

“Sssst Kar, kok banyak orang asing sih di sini? Ni kitanya yang kurang gaul, ato memang merekanya yang baru muncul di dunia ini?”, aku bertanya konyol
“ Itu tuh bule yang kemaren. Kalo yang duduk di samping lu itu, Kakak yang kemaren juga. Yang gua ceritain itu lho...cakep ngga?”

“Gua belum liat jelas. Dari tadi dia nggak noleh ke arah gua sih...! kalo yang sampingnya lagi itu siapa? Gila! Tu baru cowok ganteng! Keren lagi Bodynya. Bahunya rata.Hehehe”

“Tu temennya cowok yang di samping lu..! kakak tingkat kita kok. Namanya Alle”

“Oooo Tu yang namanya Alle?! Gila keren! Pake topi abu-abu lagi..topinya juga keren!”
“Sssst! Lu suka ma orangnya apa topinya sih?!”

“Ya orangnya dong...”

“Qyn, menurut lu cakepan yang di samping lu ato yang Alle?”

“O Ma God !! ya Alle dong..! lu tau ndiri khan? Gua ngga suka cowok kurus! Kalo Alle bodynya pas banget deh. Manis lagi n nggak terlalu putih! Itu baru namanya cowok macho..hehehe..”

Aku tersentak kaget ketika lelaki bertopi biru yang ada di sampingku mulai angkat bicara. Aku terdiam dan mengalihkan pandanganku ke arahnya. Ku perhatikan caranya berbicara,Ada yang aneh dengan wajahnya. Oups! Giginya. Tidaaaaak!!Giginya gingsul..! Manis juga batinku.sayang badannya terlalu kurus.

Kali ini aku memberikan titik pandanganku ke arah mulutnya yang sedang berbicara. Susah memang, karena lelaki ini berbicara membelakangiku. Hingga saatnya, sebuah telunjuk dari seorang host jatuh ke arahku. Aku berdiri, dan mulai bercerita tentang obsesiku di masa yang akan datang.
Kali ini aku mampu melihat jelas lelaki macho yang duduknya selang satu kursi setelah lelaki bergigi gingsul. Dan mau tak mau akupun melihat jelas wajah lelaki gingsul itu.
“ Ow tidaaak kenapa lelaki ini harus bergingsul?”, batinku yang memang dari dulu tergila-gila pada lelaki bergigi manis. Dan bagiku gingsul merupakan sebuah kekurangan yang bisa menjadi daya tarik tersendiri.
(to be continue…)

2 komentar: